By; Admin
Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia semakin hari
kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di
Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari
14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14
dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya
kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru
dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya
tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya.
Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi
para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan
malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu.
Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada
anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak
tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam
membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat
potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada
pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah
lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini
salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di
masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah
bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang
tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat
memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia
(UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14
negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris
ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan
untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara
berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat
14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas
lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
Batasan
Maasalah
Sebelum kita membahas
mengenai permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia,
sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih
dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari
kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran,
pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan,
cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan
Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif
untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian
pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan
bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan,
kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya
(Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di
atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan
pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani,
dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus
menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran
martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat
dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena
merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab
agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan
bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat
manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi
pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus
bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang
bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang
jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu
sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari
tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi
perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu
saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek
perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari
hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam
lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti,pendidikan sebenarnya mengarahkan
manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya
itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan
tidak tercerabut dari akar tradisinya.
MASALAH MENDASAR PENDIDIKAN DI INDONESIA
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap
bidang pendidikan akan menyadari bahwa
dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”.
Duniapendidikan yang “sakit” ini disebabkan
karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia,
tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu.
Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia
cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan,
khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian
karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata
lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan,
kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar
yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang
terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika
orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan
berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai,
semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir
ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi
dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering
digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap
pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang
dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.
Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini
manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu
berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah
sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau
menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin)
adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat
tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia
yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid
untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai
pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit
box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid
hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan
murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena
sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa
dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang
dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka
yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari
model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini
hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap
zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan
fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia
tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah
kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung
dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu
strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi
kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan
penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik
internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan.
Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai
sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan
lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk
manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya
sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan
situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Kualitas Pendidikan di Indonesia
·
Faktor internal,
meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di
garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah
dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
·
Faktor eksternal, adalah
masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan icon pendidikan dan
merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek
dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan
kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor
tersebut antara lain, yaitu :
Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali
sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di
Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada
umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa
memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang
memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya.
Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu
buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni
di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal
distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada
daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah
atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah
gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas
secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik
menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan
pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang
tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya
guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar
tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini
menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK.
Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya
tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu,
diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara
seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti
kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan
kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para
siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya
faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan
titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada
kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan
pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran
dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan
pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali
kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah
memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan
dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi
gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau
tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka
yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan
negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di
lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit
mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70
persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya
sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa
pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan
matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends
in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di
ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi
siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga
yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu
United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil
studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui
laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan
tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila
dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di
bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank
Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation
of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca
siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6
(Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu
menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab
soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena
mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International
Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan
bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada
pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam
dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas
yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya
mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih
terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga
Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak
usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini
termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP
masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu
layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan
pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber
daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan
strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut.
Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990
menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar
25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode
yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data
Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan
tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan
kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional
terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia
kerja.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini
sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat untuk mengenyam bangkupendidikan. Mahalnya
biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan
biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1
juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada
realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena
itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal
yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan
uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU
tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya
status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status
itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya
atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya
tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh
kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada
melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara
dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen
dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan.
Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar
seperti pendidikan menjadi korban.
Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas,
10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan
untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang
menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan,
seperti Undang-Undang Sistem PendidikanNasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan
Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada
privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU
No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam
pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukumpendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan
mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator
LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005)
menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasipendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah
memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan
terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial,
antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond
Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda
Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor
lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan
menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber
dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang
sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi
momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka
argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di
beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun
biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan
biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin
murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa
yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses
masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci
tangan.
Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti
rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti
yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
·
Solusi sistemik, yakni
solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan
sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di
Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
·
Solusi teknis, yakni
solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas
guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan
kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai
pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya,
diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran,
meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan
sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut
diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari
keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi,
berkepribadian pancasila dan bermartabat.
Sekian,,,,,,,
0 komentar:
Post a Comment