Latar
Belakang
Buku
ini sebagaai sintesis dari dua disiplin
ilmu; Analisis psikologi,
para ahli sastra,semenjak tahun-tahun
terakhir ini kedudukan dapat memperdalam pengetahuan kita mengenai
kondisi pencipta sastra. Meskipun sering di anggap menyarankan
suatu pendekatn yang “memperkecil”, karya-karya dan artike- artikel tentang
pendekatan psikoanalisis pada sastra
yang jumlahnya terus bertambah mengangkat pendekatan tersebut kedudukan yang sangat
terhormat dalam hal kekhasan sastra. Pendekata Psikonalisis sangat subtil dalam
hal menemukan berbagai hubungan antara penanda tekstual, sama sekali tidak
bersifat totaliter,dan justru memungkinkan suatu kesiapan dan kegesitan, dan
memiliki daya tarik serta pengaruh pengarang atas para kritikus sastra kadang
jauh dari psikoanalisis.
Suatu
kenyataan yang benar-benar penting, yaitu bahwa psikoanalisis bukan suatu teori
atau usaha terapi yang diberkembangkan diluar
semua hubungan dengan hasil-hasil sastra,dan bahwa penarapannya pada
sastra tidak di lakukan oleh Freud atau para penerusnya. Hal itu kami melakukan karena kami sepenuhnya sadar akan berbahaya bila membiarkan orang
mengira bahwa “ pengetahuan”, memiliki
sendiri atau bukan, adalah suatu sederhana.
Penulisan
ini dapat memberikan manfaat sebesar–besarnya kepada para pembaca,dan dapat digunakan untuk
melangkah lebih jauh untuk mengenal teori –teori baru yang bersumber dari psikoanalisis.
Harapan terbesar adalah agar para kritikus Indonesia dapat menemukan kekhasan
dalam sastra Indonesia melalui pendekata ini.
Semoga kehidupan
sehari-hari. menjadi beka luntuk
menambah pengetahuan bagi mahasiswa pada Psikologi Kesastraan dan dapat bermanf bagi kemajuan dunia keilmuan.
Ilustri
Artistik dan Ilusi Keagamaan
Menurut Freud, dalam hal itu agama dekat
dengan Psikosis halusinasi, yaitu
mengangap hasrat sebagai
kenyataan. Agama memberikan ilusi bawah hidup berkelanjutan setelah
mati dan membuat kita tidak
menerima kematian. Agama mengatikan
ketergantungan terhadap sosok
ayah dengan Tuhan yang maha kuasa, dan bukannya membiarkan kita menghadapi kenyataan yang kasar,
yang menguatkan dan pembetukan
jiwa.
Seni
juga ilusi, tetapi ilusi sesugguhnuya (dan di situlah perbedaannya),
karena itu tidak berbahaya. Dalam
bukunya Nouveller Conferences sur la psychana lyse (pemikiran - pemikiran
Baru tentang psikoanalisis), salah satu teksnya yang terakhir
yang terbit di tahun 1932, Freud
mempertentangkan seni dengar filsafat dan dengar
sebagai berikut: “Seni
hampir selalu tidak agresif dan
membawa kebaikan. Seni tidak pura
–pura dan tidak perna
berusahan menjadi ilusi, kecuali bagi orang –orang tertentu
yang kata orang ”dihantui”
oleh serangan realitas.
Seni
dan Realitas
Seni
dan realita keduanya saling berkaitan, seni seperti ini menbuat orang percaya
bahwa seni pada dasarnya bertolak
belakang dengan prinsip realitas dan
mungkin di harapkan untuk merekayasa seni agar mencapai prinsip
prealitas.Karena Freud dalam L’Introduction a lapscychanalye
menyajikan imajinasi, seni buka melawan kenyataan melaikan sekawan lebih tepat
sebagai suatu ruang perantar.
Secara
kronologis seperti dalam sejarah
individu atau sejarah spesies, bisa membawa kita kedalam kesalahan, sebagaimana
sering terjadi pada Freud. Di tulis oleh
kofman dalam suatu ulasan yang amat bagus tentang teks, yaitu karena realitas
tetap ada, karena kematian menghentikan
kehidupan, karena kehidupan tidak dapat dijalani secara tuntas tampa kematian,
karena kehidupan melindungi diri dengan jalan makin lama makin menjauhkan
timbunan yang berbahaya, karena kehidupan mehemat dirinya, dibutuhkan suatu
“tambahan” pada prinsip kenikmatan”, yaitu imajinasi. seluruh kehipun psikis
kita ,memungkinkan kmanusi untuk berkomunikasi dengan suatu cara yang bukan
ilusi
Seni
antara Pulsi kehidupan dan Pulsi Kematian
Seni cenderung membuat kita melupakan kematian. Yaitu membangu semacam
pagar yang melindungi kita dari
jangkauan realitas, sejauh ia membentuk
suatu dunia tampa kontradiksi
dimana kita melupakan pelajaran –pelajran hidup yang keras, secara paradoksa.
(Menurut Mallarmee yang kembangkan oleh
suatu aliran kritik modern) bukannya
untuk menghasilkan
pelengkapannya sendiri dengan
menunjuk ke arah suatu titik di luar
bahasa dimana kita dapat membaca
bahwa kematian memang perlu.
Menurut
cerisy menyatakan” pulsi kematian, tidak membawa kita kelahiran maupun ke konsepsi tetapi
ke suatu titik bablik yang menutup
dan meng kuci sirrkuit yang di jalani oleh eksistensi individual dari subjek yang berbicara di luar
kehidupan dan kegaduhan kata –kata yang
memenuhi dunia.
Menurut
Kaumfra pulsi kematian berakti menghidarinya,
berakti masuk dalam tuturan yang kunjung habis tentang ketiadaannyayang
kita bangun dengan seluruh umat manusia.
0 komentar:
Post a Comment